KRITISI KEPUSTAKAAN JAWA
Guna Memenuhi Tugas Mid
Semester Genap Mata Kuliah Sejarah Sastra Jawa
Dosen
Pengampu
Drs.
Sukadaryanto, M.Hum.
Oleh
Silvia
Oti Nugraheni
2601411004
/ 2011
Rombel
01
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
I. KITAB-KITAB JAWA KUNO YANG GOLONGAN
TUA
Tulisan-tulisan
pada batu, tembaga, atau emas semuanya hanya memuat soal-soal yang ringkas
saja. Kalau yang agak panjang semisal cerita-cerita atau pelajaran-pelajaran
dan peraturan-peraturan jika ditulis pada tembaga, maka pasti akan membutuhkan
banyak lembaran, banyak ongkos, dan juga kurang praktis jika dibawa
kemana-mana.
Kitab-kitab
jawa kuno tersebut antara lain :
1.
Kitab
Canda-Karana
Kitab ini ditulis pada daun tal (daun siwalan), yang
berisi pelajaran tembang (nyanyian) dan serupa isi kamus yang tersusun secara
Indu. Kitab ini mirip dengan Kitab Dasanama. Kitab ini disebut kitab tua karena
di dalamnya disebutkan nama seorang raja keturunan Syailendra yang mendirikan
Candi Kalasan, kira-kira tahun 700 Saka. Kitab ini adalah kitab yang tertua.
Karena kitab ini ditulis pada daun
tal, jadinya tidak bisa bertahan berates-ratus tahun. Akan tetapi, karene kitab
tersebut terus saja disalin, maka sampai sekarangpun masih ada
tulisan-tulisannya.
2.
Kitab
Ramayana
Kitab ini berbentuk tembang. Menurut penyelidikan,
kitab ini dibuat pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung, raja agung yang
menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur kira-kira pada tahun 820-832 Saka.
Penyelidikan tersebut selain berdasarkan perbandingan bahasa, tetapi juga
berdasar perbandingan denagn tulisan-tulisan pada batu dan tembaga yang
terdapat di tanah Jawa.
Kitab Ramayana ini mengisahkan
kehidupan Prabu Rama, meniru kitab Ramayana Indu gubahan sang Walmiki. Akan
tetapi, apabila dibandingkan satu sama lain, maka kitab ini tergolong kitab
yang sangat pendek.
Ada beberapa cendekiawan yang
memetik beberapa kalimat dari kitab Ramayana Jawa-Kuno, yakni seorang
cendekiawan Indu bernama Himansu Bhusan Sarkar yang mengarang kitab Indian
Influence on the Litterature of Java and Bali; kemudian cendekiawan lain
bernama Manomohan Ghosh dan petikan itu kedapatan cocok dengan kitab
Rawanawadha yang menceritakan matinya Dasamuka gubahan pujangga Indu bernama
Bhattikawya. Bahkan Manomahan Ghosh pun menetapkan bahwa pengarang Ramayana iu
sangat paham akan Sansekerta. Jadi, keterangan para cendekiawan Belanda yang
menyatakan bahwa pengarang Ramayana itu tidak tahu bahasa Sansekerta, adalah
omong kosong.
Menurut kitab Saridin, yang
mengarang kitab Ramayana Jawa-Kuno itu adalah seorang pujangga bernama Empu
Pujwa, pada masa pemerintahan raja Dendrajana di negeri Mamenang. Dan itu
hanyalah isapan jempol belaka. Sedangkan menurut ceritera di Bali, pengarang
kitab Ramayana adalah Empu Yogiswara pada tahun 1016 Saka. Akan tetapi
sebenarnya mereka salah pengertian. Memang, kata Yogiswara terdapat pada akhir
cerita Ramayana., tetapi kata itu bukanlah nama. Adapun kata-katanya demikian :
sang jogiswara sista, sang sudjana suddha
manhira huwus matja sira. Artinya : sang pendeta makin bertambah pandai,
sang sudjana menjadi suci hati, bila sudah membaca ktab Ramayana ini. Teranglah
, disini jogiswara bukanlah nama.
Jadi sebenarnya kitab ini belum diketahui
siapa pengarangnya. Kitab Ramayana ini sangat pelajaran yang dapat diambil dan
begitu indah bahasanya. Pada tahun 1900 sudah dicetak dalam huruf Jawa oleh
Prof. H. Kern. Kamus-kamus yang berwujud tafsiran sudah ada pula, buatan DR.
Juynboll, bahkan sekarang sudah ada terjemahan dalam bahasa Belanda.
Yang sangat disayangkan dalam kitab
ini adalah belum adanya tafsirannya yang memuaskan.
3.
Sang
Hyang Kamahayanikan
Kitab ini tidak bertembang dan ditulis dalam bahasa
prosa. Di bagian belakang kitab ini, disebutkan nama raja Jawa, Empu Sendok,
yang bertahta di Jawa Timur mulai tahun 851-869 Saka (929-947 M). Adapun isinya
berupa pelajaran tentang agama Budha Mahayana. Sudah banyak kalimat Sansekerta
yang diterjemakan dalam bentuk bahasa Jawa kuno. Kebanyakan membahas tentang
susunan dewa-dewa dalam agama Mahayana yang cocok dengan penempatan raja-raja
Budha dalam candi Borobudur. Kitab ini juga berguna sebagai bimbingan untuk
orang bersemedi. Kitab ini sudah dicetak ke dalam huruf Latin disertai
keterangan dalam bahasa Belanda dan penjelasan secukupnya oleh J. Kats.
4.
Brahmandapurana
Kitab ini ditulis dalam bahasa prosa, tidak
bercirikan angka tahun dan tidak menyebutkan nama raja. Tetapi, melihat susunan
bahasanya, kitab ini seumur dengan kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Bedenya,
kitab Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab orang-orang beragama
Budha-Mahayana, sedangkan kitab Brahmandapurana adalah kitab orang-orang
beragama Siwa. Kitab ini sudah dcetak dalam huruf Latin dan diterjemahkan dalam
bahasa Belanda oleh Prof. Gonda dengan disertai penjelasan dan penafsiran.
Kitab ini berisi tentang berbagai macam ilmu yang
ditujukan untuk orang-orang beragama Siwa. Tetapi sangat disayangkan karena
kata-katanya sudah banyak yang rusak.
5.
Agastyaparwa
Kitab ini ditulis dalam bahasa prosa, susunannya
menyerupai susunan kitab Brahmandapurana, dan juga memuat kalimat berbahasa
Sansekerta yang diterangkan dalam bahasa Jawa-Kuno. Isinya : Sang Dredhasyu
bertanya pada ayahnya , bagawan Agastya, tentang apa sebabnya orang bisa naik
sorga atau terjerumus ke dalam neraka; tentang bermacam-macam kejahatan dan
akibatnya. Kitab ini sudah dicetak dalam huruf Latin oleh Prof. DR J. Gonda disertai penjelasan dan tafsiran
yang mendalam.
6.
Utarakanda
Kitab ini ditulis dalam bahasa prosa dan banyak pula
kalimat Sansakerta yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam bagian
permulaan juga disebutkan nama raja Dharmawangsa-teguh. Ceritanya dipetik dari
Ramayana-Walmiki bagian akhir. Menurut para ahli, kitab Utarakanda ini adalah
gubahan baru. Di dalamnya menceritakan berbagai hal di antaranya : adanya
raksasa-raksasa, nenek moyang Dasamuka, lahirnya Dasamuka dengan sikapnya yang
tidak sopan kepada para dewa serta pendeta-pendeta. Cerita Arjunasasra-bau juga terdapat di
dalamnya. Pokok cerita mengisahkan dewi Sinta yang ketika itu kembali ke
Ngayodya, timbul rasa kurang senang di kalangan rakyatnya. Mereka berpendapat,
“ sudah sekian lamanya tinggal dengan musuh, mengapa masih tetap diterima
disini.” Karena Rama mengikuti kemauan rakyatnya, maka Rama menceraikan Sinta
dan mengusirnya, padahal saat itu Sinta sedang hamil. Dalam pertapaannya yang
dalam keadaan serba menyedihkan, Sinta melahirkan anak kembarnya yang diberi
nama Kusa dan Lawa. Merekalah yang kemudian diberi pelajaran oleh sang Walmiki
tentang kehidupan ayahnya, Prabu Rama, yang kemudian tersusun menjadi kitab
Ramayana. Suatu hari, Ketika Sinta dipanggil kembali ke istana, tiba-tiba bumi
retak dan Sinta terperosok ke dalamnya, dan tanah tertutup kembali. Maka
matilah Sinta. Tak lama setelah itu, Prabu Ramapun mati merana.
Uttarakanda
tidak termasuk alam sastra parwa. Bukan versi dari salah satu parwa yang jumlahnya ada 18 parwa
yang meliputi epos Mahabharata, melainkan suatu vrsi mengenai bagian akhir dari
epos Ramayana yang terdiri dari tujuh kanda. (Zoetmulder, 1974 : 97)
7.
Adiparwa
Dalam kitab ini disebutkan nama raja Prabu
Dharmawangsa-teguh, sama seperti dalam kitab Utarakanda. Kitab ini adalah
bagian pertama dari cerita Mahabharata. Isinya adalah tentang
peristiwa-peristiwa kelahiran. Lakon dewi Lara Amis, Bale si Gala-Gala, matinya
Arimba, Burung Dewata, yang merupakan petikan dari kitab Adiparwa ini.
Kitab Adiparwa memiliki dua bagian. Bagian pertama
berisikan kerangka penembang epos Bharata yakni tentang korban persembahan atas
perintah raja Janamejaya dalam ritual magis guna memusnahkan para naga. Bagian kedua berisi silsilah para Pandhawa
dan Korawa. (Zoetmulder, 1974 : 80)
Kitab ini sudah dicetak ke dalam
huruf Latin.
8.
Sabhaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan merupakan bagian yang
kedua dalam kitab Mahabharata. Kitab ini berisi cerita Pandhawa bermain dadu.
Sungguh disayangkan, kata-kata dalam kitab ini sudah banyak yang rusak, atau
dapat dikatakan sudah tidak mungkin lagi dikerjakan.
9.
Wirataparwa
Kitab ini juga berbahasa prosa dan merupakan bagian
keempat dari kitab Mahabharata. Di dalamnya berisi cerita para Pandhawa
mengabdi kepada raja Wirata, karena mereka harus bersembunyi. Apabila mereka
tidak bersembunyi, mereka akan mendapatkan hukuman buang lagi selama dua belas
tahun. Menurut Zoetmulder, para Pandhawa dan Dropadi terpaksa bersembunyi
karena mereka kalah berjudi.
Selama di Wirata, sang Yudhistira menjadi Brahmana
bernama sang Dwija Kangka, sang Wrekodara menjadi juru masak dan pendekar
bernama Ballawa, sang Arjuna menjadi seorang wandu dan pekerjaannya mengajar
tari dan tembang, sang Nakula menjadi gembala kuda, sang Sahadewa menjadi
gembala sapi, sang Drupadi pekerjaannya membuat minyak wangi dan kasai, nama
samarannya sang Sairindri. Peristiwa penting di Wirata adalah kematian patih
Kicaka dan perkawinan sang Abimanyu dengan sang Utari, dalam wayang menjadi
lakon jagal Abilawa. Kitab Wirataparwa itu menyebutkan nama raja Prabu
Dharmawangsa-teguh dan juga memuat angka tahun 918 Saka (996 M) sekarang kitab
itu sudah dicetak huruf Latin oleh DR. Juynboll.dan baru-baru ini sudah dicetak
lagi disertai keterangan dalam bahasa Belanda oleh DR A.A. Fokker.
10. Ud-jogaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan merupakan bagian yang
kelima dari cerita Mahabharata, jadi sudah dekat dengan perang Bratayuda.
Begitu disayangkan, banyak terdapat kata-kata yang sudah rusak. Jadi, hanya
sebagian kecil saja yang dicetakkan ke dalam huruf Latin oleh DR. Juynboll dan
disertai penjelasan dalam bahasa Belanda. Isinya beraneka ragam, tidak ada yang
terambil menjadi lakon wayang kecuali lakon Kresna Gugah.
11. Bhismaparwa
Bahasa kitab ini juga berbentuk prosa dan merupakan
bagian keenam dari cerita Mahabharata, jadi sudah mulai perang Bratayuda.
Disini terdapat petikan dari kitab Bhagawadgita. Kitab ini sudah diterangkan ke
dalam bahasa Belanda oleh Prof. DR. J. Gonda.
12. Asramawasanaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan merupakan bagian
kelima belas dari kitab Mahabharata. Isi ceritanya adalah sebagai berikut :
sesudah perang Bratayuda sang Dhrestarasta diangkat menjadi raja Astina untuk
limabelas tahun. Hal ini bermaksud untuk menolongnya, karena putera-puteranya
serta keluarganya sudah meninggal dunia. Para Pandhawa taat padanya. Tetapi
sang Bhima tidak suka pada Dhrestarasta karena teringat akan perbuatan
Duryodana yang selalu membuat susah dan malu. Ketika tidak ada orang, ia selalu
mengumpat-umpat Dhrestarasta. Dhrestarastapun lama-lama risih mendengar itu,
maka ia memutuskan untuk pergi ke hutan dan kemudian diantar oleh para orang
tua yakni arja Widura, dewi Gandari serta dewi Kunti. Selama pertapaan,
Pandhawa pernah mengunjunginya, tapi tak lama kemudian ia meninggal dunia.
13. Mosalaparwa
Berbahasa prosa dan merupakan bagian keenam belas
dari kitab Mahabharata. Kitab ini berisi cerita tentang musnahnya kaum Wresni
dan Yadu, yakni kaum di Negara Madura-Dwarawati; dan kisah wafanya Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna.
14. Prasthanikaparwa
Kitab ini berbahasa prosa dan meupakan bagian
ketujuh belas dari kitab Mahabharata. Kisah ceritanya : sesudah para Pandhawa
menobatkan Parikesit menjadi raja Ngastina dengan bimbingan Begawan Krepa. Para
Pandhawa meneruskan perjalanan mereka melalui laut. Dan datanglah Sang Hyang
Agni meminta agar Arjuna melemparkan panahnya ke dalam laut. Kemudian mereka
menyusuri gunung Himalaya melalui padang pasir. Di tempat itu sang Drupadi,
Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Wrekodara meninggal dunia. Kemudian Batara Indra
menjemput sang Yudistira akan dibawa ke dalam sorga. Akan tetapi, Yudistira
ingin bertemu dengan saudara-saudaranya karena ia ingin berkumpul dengan mereka.
Kitab ini belakangan ini sudah dicetak dalam huruf
Latin dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh DR. Juynboll. Tetapi sayang,
kata-kata dalam naskah ini sudah banyak yang rusak.
15. Swargarohanaparwa
Kitab ini juga berbahasa prosa dan merupakan bagian
yang kedelapan belas dalam kitab Mahabharata (bagian penghabisan).
Kitab ini menceritakan tentang ganjaran-ganjaran
yang diterima oleh para Pandhawa dan Korawa di surga ataupun di neraka.
(Zoetmulder, 1974 : 95)
16. Kuncarakarna
Kitab ini berbahasa prosa. Kitab ini dimiliki oleh
orang yang beragama Budha Mahayana seperti halnya kitab Sang Hyang
Kamahayanikan.
II.
KITAB-KITAB
JAWA-KUNA YANG BERTEMBANG
Kitab-kitab ini tidak
memakai bahasa prosa seperti kitab-kitab Jawa-Kuna yang tergolong tua. Akan
tetapi kitab ini berwujud tembang. Kitab bertembang disebut juga Kakawin.
Antara lain kakawin Arjunawiwaha, kakawin Kresnayana, kakawin Sumanasantaka,
kakawin Smaradahana, kakawin Bhomakawya, kakawin Bharatayuddha, kakawin
Hariwangsa, kakawin Gatotkacasraya, kakawin Wrettasancaya, dan kakawin
Lubdhaka.
Kebanyakan dari
kitab-kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam huruf Latin oleh para ahlinya.
Tetapi kitab ini tidak menceritakan keadaan di tanah Jawa.
III.
KITAB-KITAB
JAWA-KUNA YANG TERGOLONG BARU
Di
bawah ini akan dijelaskan sedikit tentang kitab-kitab Jawa-Kuna yang tergolong
baru. Kitab-kitab ini memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan kitab yang
tergolong tua, yakni :
a. Nama
raja disebutkan, berhubungan dengan kitab jenis lain; misalnya tulisan batu.
b. Hari
bulan atau angka tahun.
c. Keindahan
bahasa.
d. Kitab
Jawa-Kuna yang lebih tua yang menjadi induk karangannya juga dicantumkan.
e. Menceritakan
keadaan di tanah Jawa.
Dalam kitab-kitab yang tergolong tua
tidak terdapat ciri-ciri seperti nomor 4 dan 5 yang disebutkan di atas. Berikut kitab-kitab Jawa-Kuna
baru yang mengacu pada kitab-kitab Jawa-Kuna yang tergolong tua :
a. Kakawin Brahmandapurana
b. Kakawin
Kuncarakarna
c. Kakawin
Negarakretagama
d. Kakawin
Arjunawijaya
e. Kakawin
Sutasoma atau Parusada-santa
f. Kakawin
Parthayadnya
g. Kakawin
Nitisastra
h. Kakawin
Nirarthapraketa
i.
Kakawin Dharmacunya
j.
Kakawin Harisraya
IV.
TUMBUHNYA
BAHASA JAWA TENGAHAN
Dalam bab ini,
penulis hanya menceritakan tentang tumbuhnya bahasa.pada dasarnya yang disebut
bahasa jawa Tengahan adalah bahasa yang ada di antara bahasa Jawa-Kuna dan
bahasa Jawa sekarang ini. Dan bahasa Jawa Tengahan ini banyak digunakan pada
saat membumbungnya kerajaan Majapahit.
Ada beberapa kitab berprosa yang
ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan, antara lain :
1. Tantu
Penggelaran
2. Calon
Arang
3. Tantri
Kamandaka
4. Korawasrama
5. Kitab
Pararaton
Kitab-kitab tersebut di atas disajikan
dalam bentuk prosa. Dan masih ada juga beberapa yang bisa dikatakan masuk dalam
golongan tua, akan tetapi karena dilihat dari bahasanya ia dimasukkan dalam
golongan kitab Jawa-Tengahan, yakni kitab Tantu Panggelaran.
V.
SYAIR
BAHASA JAWA TENGAHAN
Syair bahasa
Jawa Tengahan banyak dipakai pada jamn kerajaan Majapahit. Dan pada saat itu
bahasa Jawa Tengahan sudah menjadi bahasa harian. Hanya golongan pujangga-pujangga
saja yang masih menggunakan bahasa kitab-kitab. Di golongan bangsawan, bahasa
Jawa-kuna sudah tidak lagi dipahami. Pemerintah yang biasanya menggunakan bahasa
Jawa-kuna dalam menulis di batu atau tembaga, terpaksa menulis dengan
menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Hal itu menunjukkan bahasa umum atau bahasa
Jawa Tengahan sudah menjadi bahasa pemerintah.
Dalam hal kitab
bacaan, orang-orang di jaman itu sudah tidak lagi dapat membaca syair-syair
dalam bahasa Jawa-Kuna. Tumbuhnya syair-syair berbahasa umum bersamaan dengan
tumbuhnya tembang macapat. Belum diketahui bagaimana tumbuh dan darimana
datangnya tembang macapat itu. Ada beberapa syair Jawa Tengahan yang memakai
tembang gede dan tembang kawi. Tetapi syarat-syarat irama itu sudah tidak lagi
dipenuhi. Orang hanya berpegang pada jumlah suku kata dalam tiap setengah suku.
Kitab seperti itu yang sudah dijumpai baru dua buah kitab, yakni : kitab Dewa
Ruci dan kitab Suluk Sukarsa. Akan tetapi pada saat ini, kitab Dewa Ruci
dianggap sebagai kitab yang paling tua.
Kitab-kitab
bahasa Jawa-Tengahan bertembang macapat yang layak dijadikan contoh adalah
Kitab Sudamala, kitab ini menceritakan lakon wayang; kitab Kidung Subrata, yang memuat hal filsafat; kitab Panji
Angreni, yang di dalamnya terdapat angka-angka tahun yang berupa Sangkalan
(chronogram). Menurut angka tahunnya, kitab ini tergolong muda. Akan tetapi,
angka itu adalah angka dimana kitab itu disalin, kitab induknya tentu lebih tua
lagi karena dilihat dari segi bahasanya; dan kitab Sri Tanjung, kitab ini sudah
tergolong kitab yang masih muda. Menurut Mardianto (1996 : 119 ) bahwa bahasa
Jawa-Tengahan juga digunakan dalam kidung, sedangkan tembang menggunakan bahasa
Jawa Baru.
VI.
JAMAN
ISLAM
Ketika itu
adalah masa kejayaan kerajaan Majapahit. Diperkirakan ada satu dua orang yang
menganut agama Islam yang datang dari luar. Semakin lama semakin banyak orang
yang beragama Islam, tetapi tempat tinggal mereka tetaplah di daerah perdagangan
pantai, misalnya Tuban, Sedayu, dan Gresik. Orang-orang yang mula-mula masuk ke
agama Islam mayoritas dari kalangan rakyat jelata. Tapi, lama-kelamaan Islam
merambat ke golongan intelek-intelek, bangsawan-bangsawan, dan para priyayi. Agama
Islampun tersebar bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Sesudah keadaan
yang seperti itu, kemudian timbul kitab-kitab bahasa Jawa-Tengahan yang berisi
ajaran Islam. Kitab-kitab itu sampai sekarang masih ada sisa-sisanya, antara
lain :
1. Het
boek van Bonangeens, kitab ini berbahasa Jawa-Tengahan yang berisi hal-hal yang
berkaitan dengan agama Islam kalimat-kalimatnya sedikit terpengaruh bahasa Arab,
jadi susah diartikan. Dan ada juga yang berlenggang bahasa Melayu, seperti kata
ana pon (adapun).
2. Een
Javaans Geschrift uit de 16eeeuw, kitab berbahasa Jawa-Tengahan yang juga
berisi tentang ajaran Islam. Banyak tulisan-tulisannya yang sudah rusak.
3. Suluk
Sukarsa, kitab berbahasa Jawa-Tengahan yang bertembang cara kuno, tembang
sloka, laku delapan kali delapan, dan sudah tidak berguru lagu lagi.
4. Koja-Jajahan,
berisi cerita yang mengandung pelajaran. Cerita tersebut menceritakan tentang
seorang patih bernama Sang Koja-Jajahan yang amat berbakti kepada rajanya,
beribadat, adil, dan bijaksana.
5. Suluk
wujil, kitab ini berisi ajaran Sunan Bonang tentang ilmu mistik kepada si
Wujil, seorang bajang yang diceritakan oleh orang bekas budak Majapahit.
6. Suluk
Malang Sumirang, kitab ini dibuat oleh Sunan Panggung.
7. Kitab
Nitisruti, kitab ini terkenal ketika zaman Surakarta. Kitab ini berisi
ajaran-ajaran baik.
8. Kitab
Nitipraja, hampir sama dengan Nitisruti, dan ia disebut-sebut “adik” Nitisruti.
9. Kitab
Sewaka, berisi petuah-petuah dari orang-orang yang mengabdi.
10. Kitab
Menak, berisi cerita tentang Nabi Muhammad. Adapun dalam Menak Lakat III, “Semuanya
mempersembahkan salam ke hadapan Bagnda Nabi Muhammad. Demikian juga para
sahabat, ksatria, mantra, dan prajurit, semuanya saling bersalam-salaman antara
yang maju ke medan perang dan yang ditinggalkan di Madinah”. (Yasadipura (1982
: 234)
Dan kemudian dalam
Menak Ngajrak, tidak diceritakan tentang Nabi Muhammad, tetapi tentang
SangAmir. “Bersama para raja,dan seluruh bala tentaranya sudah masuk ke dalam
benteng. Wong Agung segera menyuruh kakaknya, Abas untuk menulis surat. Abas
sudah menuls dua pucuk surat. Satu untuk raja Kaos, satu untuk raja Medayin.
...” (Yasadipura 1982 : 129)
11. Kitab
Rengganis, diceritakan seorang pendeta bertapa di bukit Argapura. Beliau pernah
menjadi seorang raja di negeri Jamineran.
12. Kitab
Manik-Maja
13. Kitab
Ambiya, menceritakan ketika Tuhan menciptakan dunia.
14. Kitab
Kanda, menceritakan tentang Nabi Adam dan putera-puteranya.
VII.
JAMAN
SURAKARTA AWAL
Pada jaman
Surakarta, perihal kepustakaan dibagi menjadi dua yakni bagian pertama yang
dinamakan jaman pembangunan, dan bagian kedua yang merupakan jaman membuat
karangan-karangan baru. Pembangunan itu artinya kitab-kitab yang digubah dengan
tembang macapat. Sebagai contoh ialah kitab wiwaha-jarwa. Dalam kitab ini,
tembang Asmarandanalah yang menjadi pengantarnya.
Kitab
Wiwaha-Jarwa ini digubah oleh Sinuhun PB. III. Jika kitab ini dibandingkan
dengan kitab aslinya hasilnya biasa saja. Orang-orang Jawa jaman sekarang dapat
mengetahui ringkasannya dalam kitab Arjuna Wiwaha-Kawi. Tapi jika diperhatikan,
ternyata penggubahnya tidak begitu mengetahui
tentang bahasa Kawi. Banyak bagian-bagian yang ditulis hanya berdasarkan
dugaan, bahkan kadang-kadang ada kata yang diperkosa. Keadaan ini disebabkan karena pada saat itu alat-alat
untuk mempelajari dan menguraikan bahasa belum ada sama sekali. Hal yang
membuat orang-orang kurang suka membaca kitab Wiwaha karangan P.B. III adalah
karena kata-katanya selalu diulang-ulang.
Kiai Jasadipura
I dan II, yakni seorang ayah dan putranya yang merupakan pembangun kepustakaan
Jawa yang paling utama. Karangan-karangan yang mereka gbah hampir sama dari
segi bahasa, lagu, dan waktu. Kiai Jasadipura juga menggubah kitab
Arjuna-Wiwaha dan sebagai pengantar katanya ialah tembang dhandhanggula. Disamping
itu, Kiai Jasadipura juga menggubah kitab Bharata-Juddha yang lebih mudah
dibandingkan kitab Ramayana. Kitab Bharata-juddha lebih mendekati kitab aslinya
dibandingkan dengan kitab Ramayana.
Selanjutnya,
kitab-kitab yang lain antara lain : Paniti-sastra, Arjuna-sasra atau Lokapala,
Darmasunya, Dewa Ruci Jarwa, Menak, Ambiya karangan Jasadipura, Tajusalatin,
Cebolek, Babad Gyanti, Sasana-sunu, Wicara keras, Sinuhun P.B. IV, Kiai
Sindhu-sastra, Kanjeng Pangeran Arya Kusumadilaga, Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom, Raden Ngabehi Ranggawarsita, Paramayoga, Jitapsara, Pustaka-raja,
Cemporet, Babad Prajut, dan Babad Pakepung.
DAFTAR
PUSTAKA
Mardianto, Herry.1996. Sastra Jawa
Modern. Jakarta:Depdikbud.
Yasadipura I.1982. Menak Lakat III.
Jakarta: Depdikbud.
Yasadipura I.1982. Menak Ngajrak. Jakarta:
Depdikbud
Poerbatjacara.1952. Kepustakaan
Djawa. Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P.J.1974. Kalangwan. Jakarta:
Djambatan.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar